“Eh Maaf… sudah datang dari tadi ya?” Tanya Armand kepada seorang wanita
yang duduk di bangku tunggu di depan loket sebuah maskapai penerbangan.
Wanita tersebut tersenyum lembut dan menjawab, “Enggak kok Pak. Saya
juga baru datang 5 menit yang lalu. Toh jadwal boarding-nya masih 1 jam
lagi.”
Armandpun duduk di bangku kosong sebelah wanita muda tersebut yang ternyata
bernama Anita. Armand adalah seorang pria berusia 35 tahun yang sedang dalam
puncak karier di sebuah perusahaan produksi makanan kemasan. Dia baru saja
diangkat menjadi manager produksi menggantikan manager lama yang mengundurkan
diri. Secara fisik, Armand memang tidak bergaya pria metroseksual seperti
eksekutif muda pada umumnya. Namun bentuk bahu yang bidang, hidung mancung dan
kulit wajah yang halus dan bersih, membuatnya cukup ‘good looking’. Didukung
oleh sorot mata yang tajam, membuat orang yang melihatnya tahu kalau Armand
bukan pria sembarangan.
Sedangkan Anita, seorang gadis muda berusia 28 tahun merupakan wakil manajer
pemasaran. Parasnya yang cantik dengan wajah oval, mata bening, alis yang
tertata rapi, membuat pria akan mudah menangkap kesan baik dari penampilan
Anita. Belum lagi bentuk dagu belah Anita, menambah kesan seksi pada dirinya.
Anita sudah bersuami dan memiliki seorang putri yang baru saja memasuki PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini). Dia terpaksa mengorbangkan sebagian waktu
kebersamaannya bersama putri semata wayangnya demi bisa mengejar karier sebagai
tenaga pemasaran.
Ini adalah perjalanan dinas pertama bagi Armand bersama Anita. Seharusnya
Armand berangkat bersama Adillah, selaku manajer pemasaran. Namun Direktur
memberi tugas lain, sehingga Anita dipilih untuk menggantikan Adillah berangkat
ke Singapura. Rencananya mereka akan bertemu dengan perusahaan rekanan untuk
menegosiasikan beberapa kontrak perusahaan.
“Pak Armand, checkin untuk penerbangan SQ954 sepertinya udah dibuka,” kata
Anita kepada Armand sambil menunjuk papan display elektronik.
“Kalau begitu kita masuk sekarang ya?” Tanya Armand sambil menatap tajam
Anita.
Sejurus kemudian Armand dan Anita sudah memasuki terminal keberangkatan
internasional Bandara Soekarno Hatta. Tidak banyak barang yang Armand bawa.
Hanya sebuah ransel berisi notebook ultra dan beberapa pakaian baju lengan
panjang dengan kombinasi dasinya. Sedangkan Anita tampak menarik sebuah tas
koper ukuran sedang bertuliskan Elle. Sedangkan tangan yang lainnya menenteng
sebuah tas wanita kombinasi warna ungu serasi dengan kerudung warna krem yang
dikenakannya.
Sepanjang perjalanan menuju pesawat, Armand dan Anita berbicang santai
membahas issue-issue yang berkembang di seputar pekerjaan mereka masing-masing.
Sesekali mereka tertawa bersama, menampakkan keakrapan.
Beberapa saat kemudian Armand dan Anita sudah dalam pesawat yang
mengantarkan mereka ke negeri kecil dengan simbol patung Singa yang
menyemprotkan air dari mulutnya. Sepanjang perjalanan, Anita tampak bersemangat
dengan berbagai cerita seputar pekerjaan, hobby dan obsesinya. Armand menyimak
denga semangat. Sesekali dia mencuri pandang menatap wajah Anita yang
menurutnya begitu menyenangkan. Apalagi saat Anita tertawa dan menampakkan
deretan gigi mutiaranya yang putih dan bersih. Membuat wanita muda ini semakin
seksi di mata Armand.
Beberapa kali pramugari Singapore Airlines berlalu lalang sesaat setelah
pengumuman diperbolehkannya penumpang membuka sabuk pengaman (seatbelt).
Beberapa penumpang bergegas ke kamar kecil. Sementara yang lainnya asyik
menikmati hidangan pesawat. Anita dan Armand masih saja terlibat pembicaraan
yang membuat mereka tampak menikmati penerbangan tersebut.
Sekitar 1.5 jam mengudara, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Changi.
Menurut informasi dari agen perjalanan, Armand dan Anita akan menginap di
Orchad Hotel yang terletak di Orchard Rd - sebuah kawasan utama di tengah kota.
Kebetulan, beberapa client perusahaan yang akan mereka temui berada sekitar
kawasan tersebut.
Sebuah taxi mengantarkan mereka berdua dari Bandara Changi ke hotel tempat
mereka menginap. Sesampai di hotel, Armand berjalan menuju lobby dan meminta
Anita untuk menunggu di deretan sofa bergaya modern minimalis. Armand bergegas
menuju meja resepsionis sambil menunjukkan beberapa catatan yang diberikan oleh
agen perjanan di Jakarta.
“Silahkan Pak. Ada yang bisa kami bantu?” Tanya seorang resepsionis dengan
ramah.
“Begini. Kami sudah memesan kamar untuk 2 orang melalui agen perjalanan
untuk 2 malam,” kata Armand sambil menyodorkan sebuah print out kepada
resepsionis.
“Mohon ditunggu sebentar Pak,” kata si resepsionis yang di name tag-nya
bernama Amanda.
“Baik Miss Amanda, terimakasih”
Si resepsionis yang disebut namanya tersebut melemparkan senyum khas
customer service kepada Armand.
“Bapak Armand ya. Bapak sudah dipesankan untuk kamar tipe Claymore Deluxe
dengan single bed. Silahkan tanda tangan di sini,” kata si resepsionis sambil
menyodorkan form untuk ditandatangani.
Mendengar dia hanya mendapatkan sebuah kamar, Armand kaget bukan kepalang.
Pasalnya tidak mungkin dia sekamar berdua dengan Anita. Apalagi dengan tempat
tidur tipe single. Wah bisa kacau dunia persilatan bila begini.
“Tolong dicek kembali pesanan kamar kami. Apa tidak 2 kamar ya?” Tanya
Armand penasaran.
“Sudah benar Bapak. Dari catatan komputer kami, Bapak hanya dipesankan
sebuah kamar.”
“Kalau begitu apa bisa saya tambah kamar lain lain. Saya akan menginap
dengan seorang wanita rekan kerja. Tidak mungkin kami tidur berdua dalam 1
kamar yang sama,” kata Armand dengan nada agak kesal.
“Mohon maaf Bapak. Untuk tipe Deluxe, semua telah terisi. Yang
tersedia tinggal tipe Executive Suit,” jawab si resepsionis sambil memberikan
informasi harga dan detail pelayan yang didapat untuk fitur ini.
Armand garuk-garuk kepala walau tidak gatal. Dia tahu kalau perusahaannya
cukup ketat dengan anggaran keuangan. Sehingga tidak mungkin perusahaan akan
membayuar biasa sewa kamar tambahan dengan tarif suite. Alternatifnya adalah
dia harus mengajak bicara Anita.
“Begini…, kita ternyata hanya dipesankan 1 kamar deluxe saja. Sedangkan
untuk kamar tambahan selain sudah penuh dan ternyata tidak dianggarkan,” ujar
Armand dengan ragu-ragu kepada Anita.
“Ya sudah…” jawab Anita.
“Ya sudah gimana?”
“Ya mau bagaimana lagi. Saya ghak masalah. Kan ghak mungkin juga kita tidur
di lobby hotel. Kita juga harus ketemu Mr. Wong jam 4 sore ini. Oh ya asal Pak
Armand tidak nakal saja nanti di kamar,” kata Anita sambil tertawa lebar.
“Ya deh janji,” jawab Armand sambil tersenyum lega.
“Baik, kami setuju untuk menempati, namun sediakan juga extra bed ya.”
“Baik Pak. Silahkan tandatangani. Bapak dan Ibu menunggu saja dulu. Kami
akan siapkan kamar dengan tambahan extra bed.
Setelah menunggu selama 15 menit, Seorang petugas hotel memberikan informasi
kepada Armand dan Anita yang duduk di ruang tunggu. Petugas tersebut
mengantarkan Armand dan Anita ke kamarnya.
Armand tak bisa menyembunyikan keresahannya saat dia berjalan menuju kamar
hotelnya. Tangannya gemetar dan irama jantungnya berdetak tak beraturan.
Sesekali dia menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya. Rupanya
pikirannya berkecamuk saat membayangkan dirinya bersama Anita dalam satu kamar
hotel yang sama.
Sementara Anita tampak tenang-tenang. Tak tampak keresahan ataupun pikiran
negatif lain dari dirinya. Mungkin Anita tipe wanita yang mendalami positive
thinking dan positive feeling. Semua seperti biasa saja. Seolah-olah tidak akan
ada apa-apa. hal ini berbeda dengan Armand yang pikirannya begitu menyiksa
dirinya.
Armand meletakkan kartu dengan pengaman RFID pada sensor pintu hingga lampu
indikator menyala hijau. Armand membuka pintu dan menyalakan beberapa lampu di
dekat tempat tidur dan meja. Tampak televisi LCD ukuran 42 inch menyala secara
otomatis, menayangkan beberapa informasi hotel. Anita mengikutinya dari
belakang dan menutup pintu.
“Nanti Mbak Nita menempati tempat tidur utama, biar saya di tempat tidur
tambahan saja,” kata Armand kepada Anita yang sedang melepas sepatunya.
“Oke, no problemo. Saya ikut saja,” jawab Anita dengan senyum manisnya.
“Kita sholat dhuhur dulu ya. Setelah ini kita turun untuk makan siang,” ujar
Armand sambil berlalu menuju kamar mandi. Armand duduk di kloset merenungi apa
yang terjadi hari ini. Faktanya saat ini dia berada di kamar yang sama dengan
wanita muda cantik yang bukan muhrimnya. Apa kata dunia bila hal ini diketahui
oleh umum. “Ah entahlah. Jalani saja. Ampunilah hambaMu ini.”
Anita turut serta menunaikan sholat dhuhur dengan sebelumnya mengabil wudhu.
Armand membiarkan Anita sholat sendiri saja. Rasanya dia tidak punya cukup
nyali untuk menjadi imam Anita. Bagi Armand, yang seharusnya menjadi imam
sholat adalah si imam dalam rumah tangga Anita, atau suaminya. Armand
sadar dia bukan suami Anita.
Setelah siap, Armand dan Anita meluncur ke lobby. Tujuannya adalah food
court di sekitar Orchard Rd. Setelah bertanya kepada salah satu security,
Armand mengajak Anita berputar menyusuri Orchard Rd. Tujuannya adalah sebuah
kedai makanan yang cocok dengan lidah Indonesia-nya.
Sepanjang jalan, Anita banyak mendominasi pembicaraan menceritakan belbagai
pengalamannya dalam kegiatan promosi. Sementara Armand lebih banyak menyimak
dan merespon obrolan Anita dengan cukup antusias.
Saat berjalan, beberapa kali bahu Armand dan Anita bersentuhan secara tidak
disengaja. Kadang Armand berpindah posisi si sebelah kanan Anita saat mereka
menyeberang jalan. Beberapa kali juga Armand terpaksa harus menarik bahu Anita,
saat di depan Anita terdapat tiang lampu hias, agar tidak ditabraknya. Yang
pasti, Anita tampak nyaman berjalan-jalan bersama Armand.
Di sepanjang jalan, tampak banyak juga orang-orang dengan wajah Indonesia
lalu-lalang. Beberapa di antaranya sedang asyik menikmati hidangan di
kedai-kedai yang berjajar. Orchard Rd memang menjadi surga belanja dan
jalan-jalan di Singapura.
“Kita makan di sana saja yuk,” kata Armand kepada Anita.
“Memang di sana ada makanan apa?” Tanya Anita serius.
“Lah Mbak Anita sukanya apa toh? Apa tempe penyet sambel saos? Hahaha…. Ada
ghak ya di sini?” Ujar Armand untuk ngeledek Anita.
“Lah ya ghak segitunya kaliiiiiiiik,” teriak Anita sambil mencubit lengan
Armand. Armand yang jadi korban tak sempat mengelak dan hanya bisa meringis
saja. Mereka berdua akhirnya berjalan menuju kedai yang ditunjuk Armand
tadi.
Suasana kedai atau tepatnya pujasera tampak ramai karena waktunya
orang-orang makan siang. Berbagai ragam manusia ada semua di sini, mulai dari
melayu, tionghoa, india hingga bule. Semua bercampur baur dengan urusannya
masing-masing.
Armand memilih sebuah meja dengan 4 kursi dekat jendela. Setelah menarik
kursi, dia mempersilahkan Anita untuk duduk. Sementara Armand sendiri lebih
memilih duduk di posisi kursi yang menyamping daripada berhadap-hadapan. Dia
merasa lebih nyaman jika tidak menatap Anita secara langsung. Ada perasaan jengah
bila terjadi kontak mata secara langsung.
“Ayo kita pesan apa nih? Jam 5 nanti kita ketemu Mr. Wong di Wheelock Place.
Saya lihat di google map, lokasinya ghak jauh dari sini,” ujar Armand sambil
memajukan tempat duduknya.
“Terserah saja deh saya ngikut saja. Yang penting ada sambalnya saja. Makan
tanpa sambal seperti belum makan saja,” jawab Anita masih dengan senyum
khasnya.
“Dasar penggemar sambal. Tapi sambal tidak baik untuk kesehatan mata loh
ya,” kata Armand lagi.
“Ya iyalah, pasti ghak sehat untuk mata kalau sambalnya diolesin ke mata,”
sambar Anita dengan gemesnya. Armand tertawa dengan tertahan agar tidak
mengundang perhatian pengunjung lainnya.
“Ya sudah, tunggu di sini saya. Biar pelayanmu ini yang memesankan.”
“Nah begitu dong Pak. Itu baru sip,” kata Anita lagi.
Walau usia Anita di bawah Armand dan secara jabatan lebih tinggi Armand,
namun dalam pergaulan, Anita memang wanita yang luar biasa. Kemampuannya untuk
menempatkan diri membuat semua orang nyaman untuk berada di dekatnya. Anita
memang menjadi teman bagi semua orang di kantor, tidak perduli apa jabatan dan
usianya.
Beberapa saat kemudian Armand kembali ke meja sambil membawa struk
pembayaran dan nomer terbuat dari plastik mika. Sementara Anita sibuk dengan
handphonenya. Wajahnya tampak berubah, tidak seceria tadi.
“Makanannya sebentar lagi di antar. Sabar ya,” ujar Armand sambil
memperhatikan perubahan ekspresi wajah Anita yang tampak murung.
“Oke,” jawab Anita pendek datar.
“Ada apa kok jadi melo begitu?”
“Enggak ada apa-apa kok.”
“Lah kalau ghak ada apa-apa kok terus jadi awan mendung dan hujan gerimis
begitu. Ghak seru ah. Lah kita di sini kan tugas kantor, sekaligus liburan.
Masak terus dibawa sedih begitu,” kejar Armand lagi berusaha mengorek
keterangan dari Anita.
“Ya begitulah. Urusan rumah tangga biasa saja. Setiap keluarga pasti pernah
mengalaminya,” jawab Anita sambil menghembuskan nafas panjang secara perlahan.
Entah secara sadar atau tidak, Anita akhirnya terpancing untuk menceritakan
permasalahan rumah tangganya yang tidak lebih dari 5 tahun. Mulai dari masalah
sifat suaminya yang mau memang sendiri, kikir dan tidak mau tahu urusan dapur.
Menurut Anita, suaminya tidak lagi memberinya uang belanja, sehingga urusan
dapur harus diambil dari gaji Anita sendiri untuk memberi makan dirinya dan
putrinya semata wayang.
Armand menyimak dengan seksama. Beberapa kali Armand mencoba menanggapi
permasalahan Anita tersebut dengan pernyataan solutif. Armand mencoba
mengetahui lebih dalam lagi karakter dan latar belakang suami Anita, agar bisa memberikan
solusi yang mungkin bisa menyelesaikan kemelut di rumah tangga Anita.
“Tapi masalahnya bukan hanya nafkah lahir saja Pak Armand. Sejak kelahiran
anak pertama, dia tidak pernah lagi memberikan nafkah batin,” bisik Anita
dengan sedikit tegas.
Armand terhenyak mendengar pengakuan jujur Anita. Bagaimana bisa saat ini
Anita curhat dan menceritakan apa adanya tentang suami dan rumah tangganya.
Apalagi informasinya sampai pada urusan ranjang.
Armand terdiam sesaat hingga akhirnya berkata, “Aduh maaf… saya tidak
mengira masalahmu begitu rumit. Saya hanya merasa harus turut prihatin dan
berempati terhadap masalah dan kesedihanmu.”
Mereka berdua terdiam. Armand bingung harus mengutarakan kalimat apalagi.
Sedangkan Anita tampak memandang ke luar melalui jendela di sampingnya.
“Namun rasanyab saya harus menyatakan salut atas caramu menjaga sikap.
Hampir tidak ada seorangpun di kantor yang tahu betapa dibalik penampilanmu
yang ceria dan penuh senyum, ternyata memiliki masalah yang begitu serius,”
ujar Armand lirih.
Tiba-tiba seorang pelayan resto datang membawa pesanan mereka. Pembicaraan
tentang Anita dan suaminya berhenti begitu saja. Namun dalam benak Armand
berkecamuk pikiran dan pertanyaan, mengapa orang secantik Anita atau bahkan
orang-orang cantik pada umumnya memiliki nasib pernikahan yang kurang
beruntung.
Sepanjang pengetahuannya, suami Anita adalah pria metroseksual yang ganteng
dan pandai merawat dirinya. Namun ternyata ketampanan dan kecantikan bukan
satu-satunya sumber kebahagiaan dan kebanggaan. Komunikasi dan karakter pribadi
suami atau istri dalam sebuah rumah tangga akan menentukan kebahagiaan rumah
tangga itu sendiri. Apalagi, apalah artinya seorang pria tampan bila tidak
mampu memberi nafkah batin kepada istrinya.
Teringat 2 malam ke depan ini, Armand harus tinggal dalam satu kamar hotel
dengan Anita yang ternyata jablay alias jarang dibelai, membuat imajinasi liar
Armand kembali membuatnya menggigil. Pikiran antara rasa takut dan pengharapan
bercampur menjadi satu. Muncul benih perasaan sayang kepada Anita yang saat ini
sedang duduk di samping depan dirinya.
“Duh Anita… kau wanita cantik, mengapa nasibmu seperti Lady Diana,” guman
Armand dalam pikirannya sambil menatap wajah Anita yang sedang asyik menikmati
makanannya.
“Baik kita kembali ke hotel sekarang yuk. Kita punya waktu 2 jam untuk
istirahat sebelum nanti jam 5 kita ketemu Mr. Wong di Wheelock Place,”
kata Armand kepada Anita yang baru saja menyelesaikan makan siangnya.
“Oke, saya juga sudah pegel-pegel. Mungkin kita jalan kakinya kejauhan ya,”
ujar Anita.
“Lain kali kita gendong-gendongan saja biar ghak capek,” ledek Armand sambil
berdiri.
Lima belas menit berikutnya Armand dan Anita sudah kembali ke Orchard Hotel.
Sementara Anita berganti pakaian di kamar mandi, Armand mencari channel TV yang
pas untuk ditonton. Bolak balik dia memencet remot, sepertinya semua acara
tidak cocok dengan perasaannya hari ini. CNN, HBO, Discovery Channel, [V]
Channel, FaxhionTV, Cartoon Network, hingga siaran televisi lokal dan Indonesia
lewat begitu saja.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Sesosok wanita berambut sebahu keluar
dari balik pintu. Astaga… Armand sempat sekilas melirik ke rupa Anita yang
rambutnya tidak tertutup lagi. Memang biasanya Anita menggunakan kain persegi
empat yang ditekuk menjadi 2 dan berfungsi sebagai penutup kepala atau
kerudung. Namun kali ini dia melepasnya di depan Armand. Armand sekali lagi
hanya berani melihat dari sudut matanya. Dia tidak cukup punya nyali untuk menatapnya
secara langsung. Ada perasaan jengah yang muncul saat ini.
“Sudah mandi?” Tanya Armand berbasa-basi.
“Iya, lumayan jadi seger badan nih. Lagi pula rasanya memang harus mandi
supaya ghak bau asap ya. Ayo mandi sana.”
Sebenarnya Armand masih shock dengan tampilan Anita tanpa kerudung penutup
rambutnya. Rambut hitam sebahu, wajah oval dengan rahang menonjol mengesankan
wajah aristokrat. Keras dalam bersikap, namun baik hati.
Saat keluar dari kamar mandi, Armand melihat melalui sudut matanya, Anita
sudah tertidur di kasurnya masuk ke dalam selimut tebalnya karena suhu ruangan
memang dingin. Armand masih belum bisa rasa jengah untuk melihat wajah Anita
secara langsung.
Armand kemudian berbaring pula di extra bednya. Matanya terpecam, namun
bayangan sang putri tidur memenuhi ruang imajinasinya. Hingga jam 16.00, Armand
tak bisa juga tidur dan mengistirahatkan badan dan pikirannya. Yang terjadi
berikutnya adalah, Armand merasa sangat lelah. Menahan diri dari pikiran
negatif dan tindakan yang tidak diharapkan ternyata begitu banyak menguras
energi.
Jam 16.45, Armand dan Anita sudah meluncur dari Orchard Hotel
menuju Wheelock Place yang terletak di antara Angula Park dan Orchard
Boulevard. Tepat pukul 5 kurang 5 menit, Armand dan Anita sudah masuk ke kantor
Mr. Wong. Mereka diterima dengan baik oleh Mr. Wong, yang merupakan pimpinan
sekaligus pemilik perusahaan. Lebih dari 2 jam Armand dibantu Anita menjelaskan
rencana pengembangan usaha dan kerjasama yang diamanatkan oleh perusahaannya.
Jam 19.00, Armand dan Anita keluar dari ruang Mr. Wong dengan wajah ceria.
Sepertinya misi mereka hari ini berhasil. Setelah bersalaman, mereka keluar
dari Wheelock Place menuju ke pool taksi yang ada di depan pintu masuk masuk
gedung.
“Tolong kami dicarikan tempat makan yang enak Pak,” pinta Armand kepada
sopir taxi.
“Bagaimana kalau Lucky Plaza di sekitar Orchard Rd? Di sana ada banyak
tempat makan dan jajanan” kata si sopir taxi, mencoba berargumentasi.
“Boleh, kita ke Lucky Plaza saja Pak.”
Sesampai di Lucky Plaza, sesuai petunjuk papan informasi, food court berada
di lantai dasar. Area cukup luas dengan berbagai stand penjual makanan. Meja
panjang berderet dengan kursi plastik mengitari setiap meja. Semua orang sibuk
dengan hidangannya masing-masing. Sementara itu, beberapa stand makanan diantri
oleh banyak orang. Rupanya itu adalah stand nasi padang.
Armand dan Anita lebih memilih masakan padang daripada Chinese Food yang
banyak bertebaran di food court tersebut. Setelah antri kurang dari 10 menit,
baru mereka dilayani oleh si penjual. Armand seperti biasa lebih memilih jenis
daging rendang daripada jeroan atau cumi. Maklum, kolesterol dan asam urat
biasa menyerang pria di atas 30 tahun yang suka makan seroan dan hewan laut
seperti kerang, kepiting, cumi dan teman-temannya. Sedangkan Anita lebih
memilih kepala ikan. Kepala ikan? Sebuah simbol penguasaan. Seperti Anita
memang punya leadership yang kuat dan motivasi untuk tidak hanya sebagai
follower dalam berkiprah. Pantas saja dia terpilih sebagai wakil manajer
pemasaran yang memerlukan orang yang cerdas, lincah dan pekerja keras.
Sambil makan, Armand kembali terlibat pembicaraan serius dengan Anita. Mulai
dari kesan pertemuan dengan Mr. Wong yang sukses hingga akhirnya kembali lagi
kepada masalah pernikahannya yang terancam.
“Lalu apakah suamimu memang tidak bisa berubah? Mungkin dengan cara
komunikasi yang baik, kalian bisa lebih baik lagi membina rumah tangga. Toh
kasihan putrimu bila sampai harus mengalami broken home,” tanya Armand.
“Susah Pak. Entah mengapa, karakter aslinya baru muncul tahun pernikahan
ke-2. Awalnya dia begitu baik dan sayang dengan saya. Namun berikutnya dia
mulai menampilkan watak egoisnya. Yang saya benar-benar tidak habis pikir,
mengapa saya dan putri saya harusmakan dari gaji saya. Sedangkan gajinya
sendiri dipakai untuk kesenangannya sendiri. Pernah suatu hari saya hampir
ditampar gara-gara terlalu keras menutup pintu mobilnya. Semua barangnya dia
tidak boleh sembarangan orang termasuk saya memakainya.” kata Anita menjelaskan
dengan panjang lebar.
“Lalu bagaimana rencanamu selanjutnya?”
“Mungkin saya harus pulang ke desa saja Pak. Biar saya hidup di desa bersama
keluarga besar dan merawat putri saya hingga sukses.”
“Itu berarti kamu akan bercerai dengan suamimu? Buat juga harus pulang ke
desa? Lagipula kamu tidak bisa memberikan pendidikan terbaik jika tinggal di
desa sana. tetap saja di Jakarta. Biar dia bisa mendapatkan fasilitas
pendidikan terbaik.”
“Apa boleh buat bila itu menjadi jalan terbaik buat saya dan masa depan anak
saya. Apa yang bisa saya harapkan dari suami dengan model seperti itu? Terutama
kebutuhan saya akan kasih sayang dan perhatian. Percuma saya ikut senam,
merawat diri di SPA, diet dan sebagainya, kalau ternyata suami sendiri tidak
menginginkan saya secara fisik. Saya jug wanita normal yang butuh sentuhan dan
belaian. Bukankah komunikasi terbaik antara suami dan istri itu di tempat
tidur?”
“Apa pernah konsultasi dengan keluarga atau mungkin penasihat lainnya?”
“Sering Pak. Bukan sekali-dua kali ini. Saya ini kurang apa. Bukankah fisik
saya sempurna. Banyak orang yang bilang saya ini cantik dan semok. Tetapi
apalah artinya fisik saya ini jika tidak ada nilainya di mata suami. Terus
terang, saya sudah tidak lagi berharap suami menggauli saya. Biar dia hidup
dengan alamnya sendiri. Kalau saya mau nakal dari dulu, sudah banyak yang merayu
saya yang lebih kaya dan ganteng dari dia.”
Mata Anita mulai berkaca-kaca. Beberapa tarikan nafas yang dalam cukup bisa
menenangkan perasaannya. Sedangkan Armand yang mendengarkan cerita Anita
menjadi berempati dengan masalah Anita. Semakin banyak Armand mendapatkan
cerita, semakin sadar betapa kompleks dan unik juga karakter manusia.
“Mbak Anita, sekali lagi saya hanya bisa mendoakan semoga Mbak bisa keluar
dari masalah ini dan mendapatkan jalan terbaik. Semoga Allah melindungi Mbak
Anita ya.”
“Terimakasih Pak. Itu sudah lebih dari cukup buat saya. Saat ini saya sudah
cukup tegar menghadapinya. Tidak ada lagi air mata. Semua sudah harus dihadapi
dengan keputusan yang tegas.”
“Lalu apa rencana berikutnya?”
“Saya berharap bisa membeli rumah sendiri. Saya ingin keluarga saya, Ibu
kaka dan adik saya nyama untuk tinggal atau sekedar mampir ke rumah saya
sendiri. Tidak seperti sekarang ini. Dia terlalu banyak mengatur apa yang boleh
dan tidak boleh saya lakukan di rumah.”
“Memang rumah merupakan sombol kemerdekaan seseorang. Seharusnya seorang
istri merasa tenang dan tentram di rumah sendiri walau itu dibeli dengan uang
suami.”
“Iya Pak. Saya prioritaskan saat ini untuk mendapatkan rumah. Saya ingin
anak saya dan saya merdeka untuk bisa menikmati hidup. Saya yakin Allah pasti
memberi jalan bagi saya walau saat ini sepertinya tidak mudah untuk
diwujudkan.”
Armand berkaca-kaca mendengar tekad dan perjuangan Anita untuk hidup merdeka
dengan berencana memiliki rumah sendiri dan memisahkan diri dari suaminya.
Tak terasa, mereka telah menghabiskan lebih dari 2 jam di food court
tersebut. Dengan menumpang taxi, mereka kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan
ingin rasanya Armand memeluk Anita untuk menguatkan dirinya dan menunjukkan
bahwa dia begitu sayang dengan Anita. Namun terjadi pergolakan dalam dirinya
antara menuruti pikiran untuk memeluk Anita sebagai ekspresi simpati dan
perasaan sayang yang tulus, atau tetap menjaga jarak dengan Anita.
Sesampai di hotel, Armand dan Anita langsung masuk ke kamar. Mereka sudah
cukup lelah hari ini dan membutuhkan waktu untuk istirahat.
Anita baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidurnya. Rambutnya
dibiarkan terbuka dan terurai.
“Pak ada sisir? Pinjam dong,” tanya Anita kepada Armand yang sedang menonton
sebuah tayangan televisi.
“Ada nih, tapi kecil,” jawab Armand sambil menyodorkan sisir plastiknya ke
Anita.
Anita menuju ke meja rias yang bersebelahan dengan meja tv. Disisirnya
rambut hitam sebahunya. Armand hanya bisa diam tanpa kata melihat Anita tampil
hanya dengan piyama dan rambut terbuka.
“Oh my god… kuatkan diriku… kuatkan diriku……,” batin Armand dalam hati.
Sebagai pria normal dan berada di kamar hanya berdua dengan seorang wanita
membuatnya terasa sesak nafas. Pikiran antara memanfaatkan Anita dengan
perasaan sayang berkecamuk dalam pikirannya.
“Oh tidak… kalau kau Armand benar-benar sayang pada dia, kau tidak boleh
mengambil kesempatan untuk mencelakainya,” kata sebuah suara dalam pikiran
Armand.
“Besok kita ada tugas untuk mengunjungi pameran produk di Singapore Expo ya.
Malam ini kita istirahat dulu. Semoga besok sudah jauh lebih fresh.”
“Baik, saya juga sudah capek dan ngantuk nih. Ghak lagi pengin
kemana-mana.” ujar Anita sambil menata tempat tidurnya.
Armand menuju ke kamar mandi untuk mandi. Kebiasaannya memang mandi dengan
air hangat sebelum tidur agar bisa nyenyak karena semua peredaran darah menjadi
lebih lancar.
Saat keluar dari kamar mandi, Armad melihat Anita sudah tertidur. Seluruh
badannya tenggelam dalam selimu putih. Yang tampak hanya wajahnya yang teduh
dan rambut hitamnya. Kali ini Armand lebih berani melihat paras wajah Anita
yang sedang terpejam.
“She looks like a sleeping beauty,” guman Armand. Putri tidur yang cantik
dan sedang menunggu sang pangeran mencium dan membangunkannya dari tidur dan
kutukan.
Armand berlalu menuju ke extra bed di pojok ruangan. Kebiasaan Armand kalau
tidur menggunakan sarung. Namunsudah lebih dari 2 jam, matanya tidak juga dapat
dipejamkan. yang ada dibenaknya saat adalah Anita dan wajahnya. Terbayang juga
hari ini dia berfoto bersama Anita di beberapa tempat. Saat mereka difoto
berdua, Anita merapatkan badannya ke Armand dan itu membuatnya deg-deg ser.
Belum lagi wangi parfumenya yang beraroma kayu-kayuan yang cukup membangkitkan
gairahnya.
Akhirnya Armand bisa tertidur juga. Namun belum lama tertidur, Armand
terbangun kembali. Rupanya setelan pendingin ruangan membuatnya kedinginan.
Armand melepas ikatan sarung dipanggangnya dan menariknya ke atas agar
berfungsi sebagai selimut. Untuk sementara dia berhasil menghalai dingin udara
di ruangannya.
Jam 2 malam, Armand terbangun kembali. Rupanya suhu ruangan yang dingin
tersebut membuat dia ingin buang air kecil. Saat berjalan melewati tempat tidur
Anita, Armand berhenti sejenak. Dilihatnya kembali wajah cantik dan teduh
Anita. Tak terbayang wajah secantik itu ternyata wanita kurang beruntung dengan
kehidupan rumah tangganya.
Selesai dari kamar kecil, Armand mencoba meneruskan tidurnya kembali. Namun
hingga menjelang jam pagi 2 dini hari, matanya tidak juga bisa dipejamkan.
Tubuhnya panas dingin menahan godaan. Akhirnya Armand memilih tidur tengkurep
saja, dan ternyata itu cukup berhasil menahan gejolak emosi jiwanya.
Jam 5 pagi, Armand bangun lebih dahulu. Dia langsung menuju kamar mandi untuk
mandi dan ambil air wudhu untuk sholat. Setelah selesai sholat subuh,
dilihatnya Anita juga sudah bangun.
“Bagaimana tidurnya, nyenyak ya?”
“Iya enak juga cukup bisa tidur nyenyak nih Pak,” jawab Anita sambil bangun
menuju ke kamar mandi.
Selesai sholat subuh, Armand menuju ke meja berisi water heater dan mini
bar. Diambilnya sebotol air mineral ukuran tanggung dan dituangkan isinya ke
dalam teko listrik. Tidak pakai lama, terdengar bunyi air mendidih dan uap air
keluar dari ujung teko. Dua buah cangkir disiapkannya untuk membuat teh.
Sementara Anita sudah berdiri di sajadah yang digunakan Armand untuk sholat
tadi.
“Mbak, saya sudah seduhkan teh ya. Nanti tinggal diberi gula sendiri,” kata
Armand kepada Anita.
“Oke, thanks ya.”
Sementara Anita sholat, Armand kembali naik ke kasurnya sambil makan keripik
kentang sisa tadi siang. Didorongnya keripik kentang tersebut dengan teh hangat
hasil buatannya sendiri. Dilihatnya Anita yang sedang sholat subuh. Selesai
sholat, Anita mengeluarkan buku kecil yang ternyata kumpulan surah pilihan. Dia
membacanya dengan suara lirih.
Armand merasakan dia harus bersyukur. Betapa malam pertama tinggal hanya
berdua bersama Anita, tidak membuat dirinya melanggar pagar batas apalagi
menjadi pagar makan tanaman. — yang seharusnya dia menjaga Anita, malah
memanfaatkan Anita. Lebih terharu lagi saat melihat Anita adalah wanita yang
kuat dalam amalan ibadahnya.
“Ya Allah. Semoga Engkau melimpahkan kasih sayangMu kepadanya. Semoga saya
bisa tetap bisa menjaga kehormatan diri sendiri dan kehormatannya hingga pulang
nanti,” ucap Armand dalam hati.
Masih ada malam kedua untuk Armand dan Anita tinggal berdua. Apakah yang
akan terjadi pada Armand dan Anita berikutnya. Segala kemungkinan bisa saja
terjadi.
“Uh malam yang melelahkan…..,” ujar Armand dalam hati. Memang perjuangan
yang melelahkan bagi Armand walau hanya 1 malam untuk bisa menjaga kehormatan
diri sendiri dan terutama kehormatan Anita. Berdua dalam 1 kamar yang sama
dengan wanita yang begitu menarik, membutuhkan energi besar untuk itu semua.
“Ayo kita sarapan, sudah jam 8 nih. Hari ini kita ke Singapore Expo untuk
melihat produk-produk pameran. Kita juga harus mengumpulkan kartu nama para
peserta untuk menjajagi berbagai kerjasama dengan semua peserta pameran ya,”
kata Armand kepada Anita.
“Siap Pak… Laksanakan!” jawab Anita dengan gaya ala tentara sambil tersenyum
manis. Gigi putih yang berderet rapi selalu menghiasi senyum manisnya. Bukan
jenis senyum ala customer service. Mungkin senyum jenis ini yang meruntuhkan
hati para pria yang dekat dengan Anita. Entah berapa banyak pria yang menjadi
korban senyum model begini. Yang jelas, kali ini Armand merasakan efeknya.
Jam 08.10 Armand dan Anita meluncur turun ke lobby hotel untuk breakfast.
Rupanya Resto terletak di lantai 1. Armand dan Anita menaiki tangga besar
melingkar bergaya mediterania yang lantainya dilapisi karpet berwarna merah
maron.
“Kita duduk di pojok dekat jendela sana yuk,” ajak Anita kepada Armand.
Armand mengangguk tanda setuju sambil melangkah mengikuti Anita dari belakang.
Armand memilih kursi yang menghadap ke buffet. Sedangkan Anita langsung menuju
ke buffet yang menyediakan berbagai masakan standar hotel bintang lima.
Salad buah, deretan roti metega, smoke beef, dengan mayonis, nasi putih, mie
dan berbagai daging olahan lainnya.
Armand duduk sambil memperhatikan Anita yang sedang mengisi piringnya dengan
menu pilihannya. Seorang pramusaji mendekatinya dan menawarkan kopi atau teh.
Armand memilih teh saja karena semalaman tidurnya kurang nyenyak. Kopi akan
membuat detak jantungnya menjadi lebih tidak normal. Ini mungkin yang disebut
keracunan. Ya keracunan cinta. Setelah pramusaji tersebut menuangkan teh ke
dalam cangkirnya, Armand mengambil 2 sachet brown sugar untuk dicampurkan dalam
tehnya.
Anita datang dengan membawa piringnya yang terisi beberapa menu. Tidak
banyak yang dia ambil.
“Loh kok dikit sarapannya? Apa memang sedang diet nih?” Tanya Armand.
“Hehehe… makannya sedikit sedikit saja. Tuh masih ada menu lain di meja sana
yang perlu dicoba,” ujar Anita sambil mengambil garpu dan sendok makannya.
Mendengar jawaban Anita yang begitu lugas, Armand hanya manggut-manggut saja
sambil tersenyum. Kemudian dia berdiri menuju ke buffet untuk memilih menu
makanannya. Bagi Armand menu masakan di hotel rasanya sama saja dengan di
rumah. Enaknya hanya di mulut saja. Setelah melewati kerongkongan maka semuanya
akan sama hasil akhirnya. Armand mengambil piring yang diisinya dengan potongan
kentang gorengan, 3 potong sosis sapi, beberapa mie goreng dan steak daging
lada hitam.
“Loh kok belum dimakan?” Tanya Armand.
“Nunggu Bapak aja makannya,” jawab Anita dengan ringan.
Justru jawaban Anita itulah yang membuat Armand semakin jatuh hati. Armand
merasa seperti sebagai seorang suami yang ditunggu dan dihormati oleh sang
Istri.
“Ayo makan. Jangan lupa berdoa ya,” ujar Armand dengan suara lembut.
Sambil sarapan, mereka berdua membicarakan berbagai hal. Mulai dari
pengalaman kemarin bersama Mr. Wong yang rasanya tidak ada habis-habisnya untuk
didiskusikan, hingga berbagai tempat wisata dan hiburan di sekitar Orchard
Road.
“Eh bagaimana kalau nanti malam kita nonton yuk,” usul Armand kepada Anita.
“Ide bagus tuh. Saya juga suka nonton. Seringnya sih nonton sama adikku yang
juga hobby nonton. Emang ada film bagus apa?” tanya Anita.
“Enggak tahu juga. Saya lama juga ghak nonton di bioskop. Film terakhir yang
saya tonton adalah ‘Negeri 5 Menara’ bersama istri dan anak-anak. Tapi nanti
kita lihatlah apa filmnya,” jawab Armand.
Anita telah lebih dahulu menghabiskan makannya. Sementara Armand masih
menikmati beberapa potongan sosis terakhirnya.
“Cobain ini deh,” kata Anita sambil membawakan semangkuk makanan berkuah.
Berikutnya Anita datang kembali dengan membawakan 2 gelas orange juice dingin
yang diletakkan di depan Armand dan dirinya.
“Thanks ya….” kata Armand sambil menatap tajam ke Anita. Armand menjadi
benar-benar seperti seorang suami yang sedang dilayani oleh seorang istri. Dan
yang menjadi istrinya adalah Anita.
“OMG……,” ujar Armand lirih sambil menghembuskan nafas dalam-dalam. Betapa
nikmatnya menjadi suami dengan segala kebersamaan ini. Kemudian Armand
menepuk-nepuk pipinya beberaa kali untuk menyadarkan dirinya kalau ini hanya
mimpi dan virtual saja.
“Ayo Armand, dia bukan istrimu sadarlah…..,” kata sebuah suara dalam
pikirannya.
Hampir 1 jam Armand dan Anita menghabiskan waktu untuk sarapan dan ngobrol
santai, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamar.
“Kita punya waktu untuk istirahat kembali sekitar 3 jam ya. Pamerannya baru
dibuka jam 11 siang, tapi kita ke sana jam 12-an saja. Sekalian makan siang di
luar. Oke?”
“Oke deh….” jawab Anita dengan gaya seperti biasanya.
Saat berjalan menuju kamar, ingin rasanya Armand menggandeng tangan Anita,
tetapi akal sehatnya masih berjalan normal. Dia tidak ingin mempermalukan
dirinya bila kemudian Anita marah dan menampar dirinya.
Di kamar, Armand kembali ke tempat tidurnya. Dia ingin merebahkan badannya
yang semalaman terasa meriang karena pergolakan batin. Namun kali ini dia sudah
lebih tenang untuk bisa mengendalikan perasaannya.
Sementara Anita tampak sibuk dengan remote TV. Dia mencari channel TV yang
pas dengan seleranya. Sampai akhirnya Anita juga memutuskan untuk naik kembali
ke kasurnya dan melanjutkan tidurnya.
Hingga saat ini semua masih baik-baik saja.
Sesuai dengan rencana, siang ini Armand dan Anita akan mengunjungi Singapore
Expo yang sedang mengadakan pameran berbagai produk dari negara di seluruh
dunia. Tidak salah bila pameran produk tersebut diadakan di Singapura, karena
memang Singapura merupakan negara perdagangan yang mempertemukan antara pembeli
dengan penjual. Sebagai negara yang tidak memiliki sumber alam dan luas wilayah
yang terbatas, rupanya pendiri negara pulau ini sadar akan posisi dan
potensinya. Singapore Expo merupakan ajang pameran terbesar di Asia yang
menjadi acara tahunan. Letaknya tidak jauh dari Bandara Internasional Changi
yang begitu besar dan mewah.
Pukul 12.00, Armand dan Anita sudah meninggalkan Orchard Hotel dengan taxi
menuju ke Singapore Expo. Sesampai di tempat, Armand membuat kesepakatan dengan
Anita untuk berbagi tugas, karena area yang seluas itu tiak mungkin bila
dakunjungi berdua. Armand akan menyisir stand pameran sisi barat, sedangkan
Anita menyisir area sisi timur. Tugasnya adalah mengumpulkan product knowledge
dan kontak untuk digunakan oleh perusahaan sebagai kajian pengembangan jaringan
usaha.
“Saya kira waktu 2 jam cukup ya untuk menyisir semua stand. Jam 15.00 kita
bertemu kembali di food court ujung sana,” kata Armand kepada Anita.
“Oke, fine… ghak majalah kok…,” canda Anita.
Merekapun mulai bergerilya memasuki beberapa stand pameran produk secara
spartan. Stand yang dituju terutama berkaitan dengan produk makanan olahan,
furniture dan alat-alat kesehatan. Anita dengan ramah menyapa penjaga stand dan
meminta informasi dalam bentuk booklet maupun contoh produk yang bisa dibawa.
Demikian juga dengan Armand, dalam waktu 1 jam saja dia sudah mengunjungi lebih
dari 12 stand. Pada beberapa stand dia berhenti lebih lama karena harus
berdiskusi dan menggali informasi lebih dalam lagi.
Jam 15.05 Armand memutuskan untuk menuju ke titik berkumpul bersama Anita di
food court yang terletak diujung dekat pintu masuk. Beberapa tas berisi
berbagai macam printed material dan contoh produk. Baru saja Armand memilih
tempat duduk, tampak dari kejauhan Anita dengan wajah cerahnya sedang menuju ke
tempat Armand duduk.
“Hallo… gimana? Lancar?” Tanya Armand.
“Ya begitulah. Ternyata lumayan capek dan pegal juga keliling area begitu
luasnya. Ayo pesan minum dulu,” ujar Anita.
Sambil menikmati minuman sebotol soft drink, Anita bercerita dengan antusias
bagaimana tadi dia bertemu dengan banyak orang dari berbagai stand. Dia juga
mengutarakan kekagumannya pada beberapa produk inovatif yang tidak terpikirkan
sebelumnya. Armand mendengarkan dengan penuh perhatian. Beberapa kali Armand
turut tertawa saat Anita menceritakan kejadian yang menurutnya lucu.
“Wah barang bawaan kita jadi banyak sekali. Nanti di hotel kita pilah-pilah
lagi mana yang mau dibawah pulang ke Jakarta ya,” ujar Armand kepada Anita.
“Sekarang kita kembali ke hotel ya. Rasanya enak juga kalau meluruskan kaki
nih.”
“Boleh, tapi nanti mampir dulu ya ke toko obat. Rasanya saya masuk angin nih
dan perlu balsem atau apa gitu sebagai obat gosok.
Jam 16.45 Armand dan Anita kembali ke hotel dengan membawa barang-barang
yang didapatnya dari Singapore Expo.
“Letakkan di pojok saja. Besok pagi baru kita bereskan ya.”
“Oh ya kita jadi nonton ghak nih nanti malam?” Tanya Anita dengan antusias.
“Boleh, nanti kita cari cineplex di sekitar sini. Mungkin kita makan malam
dulu jam 7, setelah itu nonton,” jawab Armand sambil membuka sepatunya.
Anita menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Armand naik
ke atas tempat tidurnya sambil membawa pc-tablet 7″ yang biasa digunakan untuk
browsing.
Beberapa saat kemudian, Anita keluar dari kamar mandi dengan badan segar dan
harum. Rupanya dia mandi untuk menyegarkan badang setelah siang hari tadi
kepanasan di luar.
Anita hanya melirik Armand yang sedang tenggelam bersama pc-tabletnya.
Diapun akhirnyamengambil smartphonenya dan entah apa aja yang dilakukan
berikutnya.
Jam 18.30 Armand sudah siap sedia. Dipakainya celana jeans dan sebuah kaos
warna putih.
“Ayo kita berangkat sekarang. Nyarik makan dulu ya.” kata Armand kepada
Anita yang sedang memainkan handphonenya di tempat tidur.
“Baik, jangan lupa setelah itu nonton ya.” ujar Anita.
Hasil dari informasi di resepsionis hotel, tempat terbesar di Orchard Rd
untuk nonton ada di Orchard Cineleisure yang terletak di Somerset Rd. Kali ini
perjalanan agak macet karena ternyata malam minggu dan jalanan menjadi macet.
Kurang dari 30 menit, akhirnya mereka sampai juga di Orchard Cineleisure.
Setelah membayar ongkos taxi, Armand dan Anita masuk ke dalam gedung bertingkat
9 yang dindingnya berwarna putih dengan akses merah pada setiap sudut gedung.
“Kita cari bioskopnya dulu untuk tahu apa filemnya dan jam berapa mainnya
ya. Setelah itu baru kita makan malam ya,” ujar Armand kepada Anita.
“Oke, aku belum begitu laper kok. No problemo.” jawab Anita dengan manja.
Wah tumben Anita mulai bersikap manja, pikir Armand. Apa karena terbawa
suasana malam minggu. tapi yang jelas, malam ini mereka seperti sepasang remaja
yang sedang menghabiskan malam minggu bersama.
Tidak perlu waktu lama untuk menemukan di mana letak gedung bioskop di
Orchard Cineleisure ini. Memang Cathay Cineplexes merupakan gedung bioskop
yang termewah saat ini. Jumlah studionya saja lebih dari 12 buah dengan
penataan 3D dan sound system terbaru saat ini.
Setelah melihat jadwal dan poster film yang ditempel di pigora besar, Armand
dan Anita bingung juga menentukan film apa yang akan ditontonnya. Beberapa film
katagori anak-anak sedang diputar. Sedangkan yang lebih mendominasi adalah
filem action produksi Hollywood. Akhirnya Armand memilih film ‘Alex Cross’ yang
sepertinya tentang kasus pembunuhan. Anita yang biasanya nonton film katagori
family juga setuju dengan pilihan Armand. Tidak menunggu lama, 2 buah tiket
dengan nomer kuris E8 dan E9 sudah berada di tangan mereka. Jam pertunjukan
sengaja dipilih di atas jam 9, agar bisa cukup waktu untuk menikmati makan
malam terakhir mereka di Singapura.
“Kita makan malam dulu yuk,” ajak Armand.
“Makan di mana? Dekat sini saja ya, biar ghak usah naik turun lagi,” pinta
Anita kepada Armand.
“Tuh di depan ada cafe juga. Sepertinya makannya standard lah. Minimal ada
burger dan soft drink.”
Akhirnya Armand dan Anita memutuskan untuk makan malam di salah satu cafe di
depan Cathay Cineleisure yang bernama Dessert Ministry. Ternyata pengunjung
cukup banyak anak muda yang sepertinya akan menonton film.
Beruntung Armand dan Anita mendapatkan meja dan tempat duduk yang pas.
Sebuah meja di sudut ruangan dengan 2 kursi plastik dan 1 kursi sofa empuk
cukup panjang. Armand dan Anita lebih memilih duduk di kursi busa empuk
tersebut.
Seorang pramusaji mengahmpiri mereka dan menyodorkan 2 buku daftar menu
makan dan minuman yang tersedia. Beberapa makanan berbahan roti dan daging
sudah dipesan Anita. Armand memesan 1 gelas kopi jenis Americano dalam ukuran
grande. Ternyata Anita juga ikut-ikutan memesan jenis minuman yang sama.
Sambil menunggu makanan dan minuman siap dihidangkan, Armand ngobrol santai
dengan Anita. Armand berharap Anita tidak lagi menceritakan kondisi suaminya.
Karena bagi pria seperti Armand, rasanya tidak cukup nyaman bila Anita harus
menceritakan kelemahan suaminya. Arman cukup senang bisa mendengar curhat
Anita, namun tidak untuk detail masalah suaminya dan urusan ranjangnya.
10 menit berikutnya, semua pesanan telah siap di atas meja. Sambil makan,
mereka membahas tentang berbagai hal, seperti karir ke depan dan lagi-lagi
masalah keluarga yang sulit untuk tidak dibicarakan. Armand yang sedari tadi
duduk di sofa di samping Anita mulai memiringkan badannya ke arah Anita. Hingga
akhirnya sambil ngobrol menikmati kopi dingginya, Armand menyenderkan kepalanya
di bahu Anita. Beruntung Anita bersedia menjadi tumpuan sandaran Armand.
Rupanya Armand tidak sanggup lagi menahan diri untuk tidak berdekatan dengan
Anita. Perasaan romantis malam minggu membuat Armand ingin menggandeng tangan
Anita saat mereka turun dari taksi tadi. Rupanya Armand bukan tipe pria nekat.
Sekian jam dia menahan diri untuk tidak terlalu dekat bahkan menyentuh tangan
Anita. Namun saat ini kepala Armand sudah bersandar di bahu Anita dengan
nyaman. Entah apa yang dirasakan Anita saat ini. Mungkin juga dia kasihan dan
tidak tega untuk menolak perlakuan Armand.
“Ayo kita selesaikan makan dan minumnya. Sepertinya 15 menit film akan
dimulai,” kata Armand sambil bangun dari sandaran bahu Anita.
“Memang jam berapa jam 21.30 mainnya. Kita masuk sekarang yuk.”
Setelah membayar semua tagihan, Armand dan Anita memasuki Cathay Cineplexes.
Film Alex Cross sendiri diputar di studi 1 yang pint masuknya berada di belokan
dekat arena permaian.
Suhu di dalam studio begitu dingin. Beruntung Armand menggunakan kaos kaki
dan sepatu plus jaket tebal. Sedangkan Anita hanya menggunakan sandal tanpa
kaos kaki.
Filmnya Alex Cross termasuk bagus. Walau alurnya sederhana, namun
pengambilan gambar dan efek suaranya luar biasa. Beberapa kali Anita dibuat
menjerit oleh suara letusan peluru atau efek suara 3D lainnya.
Sebenarnya Armand berharap Anita mau menyandarkan kepalanya di bahu Armand.
Armand duduk dengan merapatkan dan miring ke arah Anita. Namun hingga film
berakhir, Anita tidak mau juga melakukannya. Apalagi di antara kursi mereka
terdapat pegangan tangan. Jadinya Armand hanya ngarep.com saja.
Demikian juga saat film telah usai. Anita berjalan bebas di samping Armand.
Beberapa kali tangan kanan Armand digandengkannya di bahu atau pinggang Anita.
Namun walau Anita tidak menampakan sikap menolak, Armand kembali melepaskan
gandengannya dalam hitungan detik. Akhirnya Armand berhenti berusaha
menggandeng Anita. Beberpa kali bahu mereka bertabrakan saat berjalan karena
posisi mereka yang cukup rapat. Armand terbayang saat pertama kali berjalan
bersama Anita saat menjenguk seorang teman di rumah sakit. Waktu itu ada 3-4
orang dalam rombongan. Anita berjalan di sebelah Armand saat secara tidak
sengaja lengannya menyentuh lengan Armand. Ada getaran aneh dan cukup panas
yang dirasa Armand. Seolah-olah dia merasa kesetrum tegangan listrik yang cukup
tinggi.
Armand dan Anita kembali ke kamar hotel. Walau lelah, namun Armand sudah
cukup puas mengajak Anita makan malam dan menonton. Belum lagi pengamalannya
saat menyandarkan kepala di lengan Anita saat makan malam di cafe, merupakan
kesan mendalam bagi Armand. Hanya dengan cara itu dia bisa menunjukkan perasaan
sayangnya kepada Anita. Namun anehnya Anita bersikap biasa-biasa saja.
“Malam ini kita istirahat dulu ya. Besok kita akan check out dari hotel jam
10 siang. Oh ya kita sempatkan juga untuk belanja oleh-oleh untuk teman kantor
dan keluarga di rumah,” kata Armand.
“Terus jadwal penerbangan kita jam berapa?” Tanya Anita.
“Dari tiket, jadwal boarding kita jam 12.45. Itu artinya 1 jam sebelumnya
kita sudah di Changi,” jawab Armand.
Anita kemudian masuk ke kamar mandi untuk berganti baju dengan baju
tidurnya. Sementara Armand duduk di kursi dekat jendela. Entah apa yang sedang
dipikirkannya. Yang jelas ini adalah malam terakhir dia bersama Anita dalam
sebuah kamar hotel yang sama. Kondisi seperti ini ternyata sangat mengganggu
pikiran Armand.
Armand melirik jam tangannya. Rupanya baru saja melwati tengah malam.
Sementara Anita masih berada di kamar mandi. Armand kemudian mengambil remote
tv untuk mengusir kegelisahan hatinya. Discovery Channel sedang menayangkan kehidupan
liar di gurun sahara Afrika. Ditatapnya TV LCD di depannya, namun pikirannya
tidak tertuju pada apa yang ditampilkannya. Ada perasaan sedih bila harus
berpisah dengan Anita setelah 2 hari 1 malam selalu bersama dirinya.
“Tadi filmnya bagus ya. Alur ceritanya tidak mudah ditebak,” kata Anita
tiba-tiba saat keluar dari kamar mandi.
“Iya, saya juga suka. Terutama saat Alex Cross yang jadi detektif
sekaligus Forensic Psychologist melakukan analisis kejadian di TKP. Hebat
benar tuh ilmunya ya,” jawab Armand.
“Lain kali kita nonton ya, tetapi tidak mungkin kita bisa lakukan di
Jakarta. Bisa ghak enak sama teman-teman kantor nih kalau ketahuan kita jalan
berdua,” kata Anita lagi.
“Hehehehe… iya.. benar juga…,” jawab Armand berusaha menyembunyikan kegelisahan
dari nada suaranya.
Anita menuju meja meja kerja di sudut ruangan. Sebuah sajadah yang dibawa
Armand dari rumah dihamparkannya menghadap kiblat. Sadar Anita akan sholat,
Armand mematikan televisi dan naik ke kasurnya untuk berdiam diri. Dia
memperhatikan Anita mengenakan mukenahnya lalu takbiratul ikhram.
“Ya Allah… semoga Engkau menjaga dirinya dari kejahatan diriku. Bila aku
menyayanginya, aku tidak boleh membuatnya celaka,” kata Armand pada dirinya.
Armandpun berusaha menenangkan dirinya dengan berdzikir. Dibacanya istighfar
sebanyak-banyaknya agar kesadaran dan energi spiritualnya kembali normal.
Memang tidak sepenuhnya hilang, namun kini dia jauh lebih tenang.
Setelah Anita selesai sholat, Armand meminta Anita untuk tidak melipat
sajadahnya.
“Biarkan, saya juga belum sholat nih,” kata Armand kepada Anita.
Armand menuju kamar mandi untuk berwudhu. Di dalam kamar mandi, dia menatap
dirinya di cermin. Cukup lama dia menatap hingga akhirnya kembali sadar apa
yang harus dilakukannya sekarang. Setelah mengambil air wudhu, Armand
mendirikan sholat. Dalam sholatnya Armand berdoa semoga Allah melimpahkan kasih
sayangnya kepada semua orang yang dicintainya, termasuk Anita yang saat ini
bersama dirinya.
Selesai sholat, dilihatnya Anita telah masuk ke dalam selimut putihnya yang
tebal. Wajahnya menghadap ke arahnya dengan rambut terurai dan sebagian
menutupi wajahnya yang putih halus. Armand menghela nafas panjang. Ingin
rasanya dia menghampiri Anita untuk sekedar memberi ciuman selamat tidur dan
usapan sayang di kepalanya seperti yang dilakukannya pada istrinya. Namun suara
dalam dirinya mengatakan jangan, jangan dan jangan.
Akhirnya Armand memutuskan untuk naik ke tempat tidurnya, berusaha
memejamkan mata. Mungkin karena hari ini begitu melelahkan, Armand bisa tidur
dengan lebih mudah.
Jam 5 pagi, Armand terbangun. Di luar jendela kamar, langit Singapura masih
gelap. Armand menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Saat keluar dari
kamar mandi, dilihatnya Anita sudah duduk di tempat tidur.
“Bagaimana tidurmu malam ini?”
“Uh cukup nyenyak. Mungkin karena kita jalan-jalan seharian ya, jadi
capeknya membuat kita tidur nyenyak,” jawab Anita sambil beranjak dari tempat
tidurnya menuju kamar mandi.
Selesai sholat subuh, seperti pagi kemarin, Armand menyiapkan air panas di
teko water heater. Saat Anita selesai sholat, Armand menawarkan minuman
apa yang Anita inginkan.
“Mau saya buatkan kopi atau teh nih?”
“Ghak usah, nanti saya buat sendiri saja.”
Secangkir lemon tea dengan 2 sachet white sugar sudah Armand hidangkan untuk
dirinya. Sayang Anita menolak untuk dibuatkan. Padahal rasanya akan sangat
menyenangkan bila dirinya bisa melayani Anita di pagi hari saat baru saja
bangun tidur seperti ini. Armand membawa cangkir teh hangatnya dan meletakkan
di meja dekat jendela. Diseruputnya lemon tea tersebut dalam kondisi hangat.
“Uh rasanya nikmat sekali,” pikir Armand.
“Nanti kita sarapan jam 8 ya. Sebelum ke bandara, ingatkan untuk mampir
membeli oleh-oleh ya,” pinta Armand.
Langit di luar jendela sudah mulai terang. Anita berjalan menuju jendela
yang tirainya terbuka setengahnya. Kemudian dia duduk di lengan kursi menatap
pemandangan kota Singapura yang mulai disinari cahaya matahari. Kabut
masih menutupi sebagian area.
Armand melihat angel yang bagus untuk memotret. Diambilnya kamera pocket dan
meminta Anita diam dengan pose memandang keluar. Diambilnya beberapa gambar
dengan pose sedikit berbeda. Armand berhasil mem-freez wajah Anita dalam sebuah
gambar di kamera digitalnya. Tiga buah gambar yang salahsatunya Armand paling
suka, karena menampilkan wajah Anita yang innocent. Anita tertawa saat melihat
hasil fotonya. Dia bilang fotonya jelek.
Anita mengambil kamera pocketnya dan mengabadikan dirinya sendiri dalam
beberapa adegan. Dia juga memfungsikan timer kamera untuk mengambil gambar
dirinya dengan setelan waktu.
Sementara Armand naik ke atas kasurnya sambil menonton tayangan film di HBO.
Tiba-tiba Anita meletakkan kamera di ujung tempat tidur Armand dan Anita
merebahkan dirinya di samping Armand. Armand menahan nafas saat Anita berbaring
meletakkan kepalanya di lengan Armand yang terbuka. Jantungnya berdetak menjadi
lebih cepat dengan irama yang tidak teratur. Kejadian ini benar-benar tidak
disangka-sangka oleh Armand.
Anita mengatur kembali timer kameranya dan mengulangi lagi adegan
pengambilan gambar seperti pertama tadi. Armand makin sesak nafas. Dia hanya
bisa mematung tanpa mampu menggerakan tangannya untuk mendekap Anita yang saat
ini ada di depannya. Dua kesempatan tersebut berlalu begitu saja, dan Armand
akhirnya mampu bernafas normal kembali.
“Aduh ya ampun…., Anita kau hampir saja membuatku jantungan,” guman Armand
dalam hati.
Anita sepertinya cuek saja. Namun dibalik cueknya, Armand dapat menangkap
pesan betapa sebenarnya Anita juga membutuhkan dekapan sayang dari dirinya.
Tetapi mana berani dia melakukannya.
“Tidak mungkin…, tidak mungkin….,” guman Armand dalam hati.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Waktunya bagi Armand dan Anita untuk
sarapan dan berkemas-kemas untuk check out. Semakin dekat pada waktu
kepulangan, semakin berat perasaan Armand untuk berpisah dari Anita.
“Anita….,” guman Armand lirih.
Armand dan Anita menuju ke lantai 1
untuk breakfast. Saat keluar dari elevator, Armand hendak mengambil inisiatif
untuk menggandeng tangan Anita. Lagi-lagi tangannya serasa terkunci dan hanya
sanggup untuk memegang pundak Anita sebentar.
Menu sarapan kali ini tidak jauh
berbeda dari sarapan kemarin, hanya urutannya saja yang berubah. Namun yang
berubah pastinya hanya pada perasaan Armand yang menganggap saat ini dia
sarapan bersama seorang istri. Dia sudah mulai begitu enjoy saat tadi
malam Anita tidak melarang dia menyandarkan kepada di pundaknya saat menjelang
nonton. Ada secercah harapan bahwa Anita juga sepertinya mulai suka dengan
dirinya. Apalagi beberapa waktu yang lalu, Anita mengambil inisiatif naik ke
tempat tidurnya walau hanya untuk mengambil foto mereka berdua. Itu sudah
sangat luar biasa buat Armand.
“Sudah sarapannya? Yuk kita langsung
beres-beres dan checkout,” kata Armand kepada Anita.
Orang yang dituju justru sedang
asyik menghabiskan beberapa makanan lagi. Anita sepertinya begitu senang untuk
tinggal sementara di resto. Atau mungkin nafsu makannya sedang bagus. Armand
hanya bisa tersenyum melihat tingkah Anita yang menyasak beberapa makanan
penutup lainnya.
Jam 09.10, Armand dan Anita turun
dari kamar menuju meja resepsionis dengan membawa koper dan ranselnya. Petugas
hotel lalu mengontak bagian kamar untuk mengecek kelengkapan kamar yang akan
check-out. Armand dan Anita memang tidak biasa mengkonsumsi barang-barang yang
tersedia di minibar, karena tahu harganya tidak bagus untuk kesehatan mata dan
telinga. Setelah urusan beres, kasir menghitung tagihan kamar dan jumlah
deposit. Armand dan Anita keluar dari hotel menuju bandara Changi.
Tadinya Armand dan Anita masih akan
berkeliling mencari oleh-oleh khas Singapore. Ternyata setelah dipikir-pikir,
paling kalau cuman makanan itu hasil import dari Indonesia juga. Akhirnya
mereka hanya akan membeli beberapa kaos bertuliskan Singapore untuk kerabat dan
teman dekat di Jakarta.
Orchard Hotel dan Bandara
Internasional Changi memang agak jauh, sekitar 23 KM. Jarak temuh dalam kota
dan nyambung ke tol bandara sekitar 20 menit saja. Dari Orchard Road melewati
Cuscaden Road dan tembus ke tol dalam kota. Atau melewati Bideford
Road yang cukup ramai karena adanya Paragon Shopping Center. Ternyata perjalanan
ditempuh dalam waktu 30 menit. Beberapa ruas jalan terjadi perlambatan arus
karena padatnya jalan, walau tidak sampai macet.
Di dalam taxi, Armand sempat
bertanya kepada Anita.
“Apa yang akan kamu lakukan setelah
ini? Kita akan kembali ke dunia nyata,” ujar Armand dengan nada sedih.
Anita menatap Armand yang berada di
sampingnya dan berkata, “Ya mungkin kita harus melupakan semua yang kita alami
bersama di sini ya.”
Armand hanya bisa diam sambil
melemparkan pandangan ke arah jalan yang dilewati. Armand memang sekali lagi
tidak begitu tahu perasaan Anita yang sebenarnya. Hanya dari pandangan mata
Anita, Armand hanya bisa menduga bila Anita juga merasakan hal yang sama dengan
dirinya.
“Ah sudahlah…., Biarkan semua
berlalu begitu saja. Toh ini hanya sebuah perjalanan dinas dan bukan acara
honey moon,” guman Armand dalam hati.
“Jadwal boading kita jam berapa?”
Tanya Anita memecah kebekuan.
“Jam 12.45,” jawab Armand.
“Berarti kita punya waktu 1.5 jam
untuk belanja beberapa oleh-oleh ya,” tanya Anita lagi.
Setelah membayar taxi, Armand dan
Anita memasuki area Internasional Departures yang berada pada sisi paling kiri.
Tampak suasana bandara yang begitu sibuk. Maklum, Singapura memang biasa
menjadi area tujuan wisata dan tempat persinggahan dari Australia dan negara
asia lainnya.
Armand dan Anita masuk ke sebuah
toko penjual souvenir khas Singapura. Mulai dari kaos, gantungan kunci, hingga
bonek lucu maskot Singapura banyak dijual di area tersebut. Armand memilihkan
beberapa potong kaos untuk anak-anaknya. Sedangkan Anita lebih tertarik
membelukan baju terusan warna merah untuk putrinya. Beberapa souvenir juga
mereka beli sebagai buah tangan untuk teman-temannya di kantor. Bisa bahaya
bila mereka tidak membawa oleh-oleh. Hal tersebut sepertinya sudah merupakan
sebuah tradisi.
Selesai berbelanja, Armand bermaksud
mencari bahan bacaan untuk mengisi waktu saat menunggu nanti. Walaupun
sebenarnya bahan bacaan tersbeut lebih pas sebagai pengalihan dari perasaan
gundah akan perpisahannya dengan Anita. Anita memang bukan pacar, apalagi
istrinya. Tetapi waktu 3 hari 2 malam saat selalu bersama telah menumbuhkan
kebersamaan yang tidak mungkin terulang kembali. Ya.. mungkin ini yang
dinamakan cinta lokasi. Walau ketertarikan Armand kepada Anita sebenarnya telah
muncul jauh-jauh hari sebelum dia punya kesempatan untuk bersama. Hanya Armand
memang selama ini dia cukup bisa menyembunyikan perasaannya.
Baru saja dia membolak balik
beberapa majalah terbitan internasional, matanya tertuju pada sebuah headline
koran Singapura yang menyebutkan “Pastor Kong Hee dan 6 Pengurus Harvest
Church Diduga Korupsi $40 juta oleh Pemerintah Singapura”. Armand tersenyum
kecut membaca judul berita tersebut. Rupanya agamawan juga tidak kebal
terhadapan godaan harta, tahta dan wanita. Wow, Armand tersenyum lebar
mengingat bagaimana perjuangan dirinya selama 2 malam untuk tidak tergoda
melakukan hal yang diinginkan bersama dengan Anita.
Setelah urusan keimigrasian selesai
dan melakukan check-in untuk mendapatkan nomer kursi, Armand dan Anita
menuju ruang tunggu. Mereka memilih tempat yang tidak telalu jauh dari pintu
pemeriksaan dan stand penjual makanan dan minuman. Anita dan Armand cukup
senang mengamati orang-orang dari berbagai negara yang hilir mudik dengan
berbagai model baju, celana, sepatu, tas dan ikatan rambut. Seolah-olah, mereka
sedang meyaksikan sebuah peragaan busana. Kadang-kadang Armand berbisik kepada
Anita saat melihat seorang calon penumpang yang menggunakan sepatu hak tinggi.
Demikian juga sebaliknya.
“Sudah lapar?” Tanya Armand kepada
Anita.
“Enggak, cuman haus aja nih,” jawab
Anita.
“Tunggu di sini ya. Saya carikan
makanan dan minuman,” kata Armand kembali.
Armand segera bergerak cepat untuk
mendapatkan makanan dan minuman untuk Anita dan dirinya. Dilihatnya sebuah
kedai penjual makanan mirip rotiboy yang beraroma kuat, namun terbuat dari
semacam roti sus. Armand memang tidak begitu mahir untuk urusan belanja
makanan. Pikirnya, kalau ada orang antri, pasti tuh makanan enak aja. Setelah
mendapatkan makanan, Armand berlari kecil menuju ke stand penjual minuman
dingin. Diambil 3 botol minuman, terutama 2 air mineral dingin.
Lebih dair 10 menit, Armand kembali
ke tempat Anita menunggu. Anita bertanya mengapa membeli minuman saja begitu
lama. Armand jelaskan kalau dia tadi masih harus antri untuk mendapatkan roti
sus yang tidak pernah dimakannya sebelumnya.
Sebuah pengumuman terdengar di
pengeras suara bandara. Penumpang dengan nomer penerbangan mereka dipersilahkan
untuk memasuki pesawat. Armand dan Anita bergegas menuju ke gate yang telah
ditentukan untuk menuju pesawat yang akan mengantarkan mereka pulang ke
Jakarta.
Di dalam pesawat, Armand dan Anita
mendapatkan tempat duduk 2 baris dari pintu darurat bagian tengah. Sedangkan
kursi Anita berada dekat dengan jendela. Armand duduk persis di sebelah kanan
Anita. Setelah semua barang masuh ke bagasi, Armand mulai mengatur kursi dan
posisi kakinya. Anita sendiri masih sibuk mengirimkan SMS menjelang
keberangkatan pesawat.
“Sampai di Jakarta, nanti dijemput
atau naik taksi?” Tanya Armand.
“Putriku minta papanya menjemputku,”
jawan Anita sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, seorang pramugari
mengumumkan persiapan keberangkatan pesawat. Sesuai prosedur keselamatan
transportasi udara, diumumkan untuk mematikan handphone dan peralatan
elektronik lainnya yang dapat mengganggu sinyal navigasi pesawat. Seperti
biasa, beberapa pramugari dan pramugara memperagakan cara penggunaan alat
keselamatan di pesawat. Seperti sabuk keselamatan, masker oksigen, jaket
pelampung dan pintu darurat.
Mesin pesawat berderu lebih keras
pertanda pesawat mulai bersiap untuk menuju landasan pacu untuk melakukan take
off. Lampu kabinpun dibuat redup dan hanya menyisakan beberapa pada bagian list
saja. Dalam suasana remang-remang, tiba-tiba tangan Anita menarik lengan Armand
dan mendekapnya. Kemudian yang terjadi berikutnya, Anita menyandarkan kepalanya
pas di bahu Armand. Tentu saja Armand cukup terkejut karena tidak menyangka
Anita akan melakukannya. Padahal hal ini yang Armand harapkan saat mereka
menonton film di Cathay Cineleisure kemarin malam.
Armand langsung menyandar kebelakang
dan sedikit memiringkan badannya ke kiri, agar Anita bisa lebih nyaman saat
memeluk lengannya. Sebuah senyum kebahagiaan menyembul dari bibir Armand,
seolah-olah dia orang paling beruntung di dunia. Sementara pesawat sudah mulai
melakukan take off dan meluncur ke angkasa.
Tentu saja Armand menikmati dekapan
mesra Anita. Anitapun tampaknya nyaman dengan dekapan di lengan Armand.
Kepalanya hampir menyentuh pipi kiri Armand. Yang terdengar berikutnya di
pikiran Armand adalah lirik lagu dari Rumor yang berjudul butiran debu.
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa untuk selamanya
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa sepanjang usia
Berbagi rasa untuk selamanya
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa sepanjang usia
Armand benar-benar menghayati apa
arinya sebuah kebersamaan. Pelukan Anita di lengannya dan kepala Anita yang
menyandar padanya sudah lebih dari sebuah kalimat bawhwa Anita juga mencintai
dirinya.
“Tidak perlu bahasa lisan bila
bahasa tubuh telah mengatakan lebih dari cukup,” pikir Armand yang sekarang
berganti nama menjadi cinta. Namaku cinta….. di saat kita bersama…..
Saat lampu telah dinyalakan kembali,
Anita bangun dan melemparkan senyuman manisnya kepada Armand. Armand meraih
tangan Anita dan mengusapnya dengan lembut. Beberapa kali dipijatnya tangan
halus Anita, sebagai pesan bahwa dia begitu menyayangi Anita. Anita hanya
terdiam menikmati setiap sensasi yang terjadi. Beberapa saat kemudian, Anita
kembali memeluk lengan Armand hingga pesawat menjelang tiba di Bandara
Soekarno-Hatta.
Sebenarnya Armand punya kesempatan
untuk mencium pipi Anita, namun sulit bagi Armand untuk melakukannya. Dia takut
Anita tidak berkenan dan marah kepadanya.
Anita dan Armand berjalan keluar
terminal kedatangan internasional. Kali ini mereka berjalan melambat seperti
tak ingin terburu-buru untuk meninggalkan bandara. Namun langkah kaki mereka
akhirnya sampai juga di pintu keluar. Anita mencari-cari sosok suami yang
menjemputnya. Namun hingga beberapa saat, belum juga Anita temukan. Setelah
menelpon, rupaya suami dan putrinya tidak menunggu persis di depan pintu
keluar. Mereka menunggu di jalan baris kedua dekat tempat parkir.
Armand mengantarkan Anita hingga
bertemu dengan suaminya. Tak lama kemudian, sesosok pria yang dia kenal baik
sebagai suami Anita sedang menunggu di areal menuju parkir mobil. Armand dengan
cepat menghampiri suami Anita dan menyalaminya.
“Hey man… saya hantarkan kembali
istrimu tampa kurang satu apapun. Tolong jaga dia dengan baik!”, kata Armand
dalam pikirannya sendiri.
Anita melambaikan tangan dan pergi
bersama suami dan putrinya. Sementara Armand berdiri terpaku menatap langkah
kepergian Anita. Tiba-tiba perasaannya menjadi sesak. Armand berusaha menahan
air matanya yang mulai membasahi matanya. Matanya berkaca-kaca. Armand berlari
menuju mobil sedannya yang telah ditinggalkannya selama 3 hari. Saat setelah
berada di dalam mobil, Armand tak kuasa membendung tangis dan jatuhnya airmata.
Laki-laki
memang pantang untuk menangis, tetapi tidak untuk cinta
Armand duduk dengan kepala menyentuh
stir mobilnya. Sebuah lirik lagu yang didengarnya rasanya sangat pas untuk
menggambarkan suasana hatinya saat ini.
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpamu butiran debu
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpamu butiran debu
Cukup lama Armand berdiam diri di
mobilnya, hingga akhirnya dia mulai bisa mengendalikan diri. Diambilnya
handphonenya. Ada kata yang tak sempat diucapkannya kepada Anita. Rasanya akan
sangat melegakan bila dia harus mengatakan sekarang. Armand tidak perduli apa
jawaban Anita nantinya. Yang penting dia harus menyampaikan kata yang tak
sempat terucapkan saat dalam puncak kemesraan mereka tadi.
Diketiknya huruf .L.U. dan
dikirimkannya melalu SMS. Notifikasi SMS menyatakan diterima oleh smartphone
Anita. Armand menunggu dengan cemas SMS balasan dari Anita. Sedetik dua detik,
belum juga alarm smartphonenya berdering. Hingga hampir 60 detik berlalu, SMS
yang diharapkan belum juga datang. Perasaan kecewa hampir
mempengaruhinya, hingga akhirnya sebuah SMS balasan masuk dari Anita
dengan sebuah tulisan singkat .L.U.2. yang artinya I Love You
Too.
“Yes.. yes…,” teriak Armand di dalam
mobilnya. Semangat Armand bangkit kembali. Anita sudah memberikan jawaban atas
perasaan cintanya.
Armand kemudian memutar kunci
mobilnya dan bergerak pulang ke rumah untuk bertemu dengan istri dan anak-anaknya
dengan perasaan bahagia.
“Oh Anita…. M.U. So Much….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar